Header Ads

PKI Sudah Tinggal Nama, Kalau Ada Hanya Sebagai Bahan Politisasi

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (purn) Agus Widjojo menilai, polemik tentang komunisme atau PKI yang menguat setiap tahunnya pada September, hanya menguras serta mengorbankan tenaga dan pikiran generasi muda bangsa.

“Seharusnya, generasi muda bangsa bisa memberikan tenaganya untuk efektivitas usaha pembangunan nasional,” ujar Agus dalam webinar tentang ‘Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik?’ yang digelar Political and Public Policy Studies (P3S) pada Selasa (29/9).

Hadir narasumber Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid, Direktur Eksekutif P3S Jerry Massie, Direktur Eksekutif LKIP Eduard Lemanto, Peneliti Senior CSIS J Kristiadi, dan moderator Frederik Bios.

“Bahwa wabah kebangkitan komunisme sulit tidak diakui untuk hadir setiap tahun menjelang tanggal 30 September atau 1 Oktober. Karena kemunculan berulang pda saat yang tetap itu, sulit dipungkiri bahwa isu tersebut sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik,” kata Agus.

Agus menyadari sejarah tentang PKI atau komunisme tidak bisa dihilangkan karena berhubungan dengan pikiran orang yang sulit untuk ditebak. Ada juga pengalaman perseorangan tentang PKI sehingga membuat tulisan, memoar buku, atau mengadakan pertemuan dengan teman senasib pada zaman dulu. Di samping itu, ada juga yang menganggap dirinya anti-PKI merasa hal tersebut sebagai sebuah kebangkitan dari komunisme.

Terlepas dari itu, Agus menekankan sebenarnya konstitusi negara sudah sangat tegas dan jelas mengatur tentang larangan PKI. Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara sudah cukup kuat untuk mengebiri perseorangan atau paham komunis diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, memperdebatkan tentang PKI merupakan hal yang sia-sia dan hanya membawa bangsa ini jalan di tempat.

Polemik yang menguras waktu tenaga dan pikira dari aset bangsa yang sebenarnya diperlukan meningkatkan efektivitas usaha pembangunan nasional. Terasa sekali apabila sebuah postingan di sebuah media sosial ada provokatif direspons secara defensif oleh pihak yang berlawanan, maka proses balas membalas ini tidak ada habisnya. Dan terkadang juga argumentasi dari proses balas membalas postingan itu sangat tidak logis dan hanya bersifat terkadang juga sindiran kepada pengirimnya dan keluar dari substansi,” kata dia.

Lebih lanjut kata Agus, paham komunis merupakan antitesis dari kapitalisme. Karena komunisme bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan pengungsian, sebagai sistem dari hasil masa lalu. Karena itu, Agus menyarankan untuk menghadapi kebangkitan komunisme lebih baik menghilangkan segala isu yang berkaitan tentang kemiskinan dan pengangguran.

“Jadi bisa dikatakan di samping kita kewaspadaan yang langsung kita tujukan kepada ideologi komunisme, yang paling penting dan lebih penting adalah bagaimana pembangunan kita itu bisa memberikan untuk mengatasi kemiskinan pengangguran pengungsian, dan lebih penting lagi adalah di antara rakyat,” jelas Agus.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menilai, isu PKI yang tengah panas karena disuarakan Gatot Nurmantyo itu sebenarnya tidak masuk akal dan terkesan dipaksakan.

Menurut Usman, sulit bagi PKI atau komunisme sebagai pergerakan muncul di Indonesia. Usman menjelaskan, film G30S PKI sendiri sudah mengalami revisi oleh Jenderal Angkatan Darat sendiri saat Orde Baru. Lalu, film tersebut ditinjau kembali saat era Habibie.

“Hal yang seperti ini saya kira berlangsung di era reformasi bukan karena ini ada PKI seperti yang digembar-gemborkan Pak Gatot. Dengan segala hormat dengan segala kerendahan hati saya, saya ingin mengatakan bahwa penjelasan itu tidak masuk akal,” kata Usman.

Selanjutnya, di era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ada upaya untuk melakukan semacam pembenahan terhadap kerusakan sendi kehidupan bangsa di masa lalu. Salah satunya usulan mencabut TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang Larangan Ajaran Marxisme komunisme dan leninisme.

“Bahkan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan pemrintaan maaf atas tragedi 65 mengupayakan rekonsiliasi akar rumput hingga merehabilitasi nama baik Soekarno dan orang-orang yang pernah diperlakukan sewenang-wenang dengan tuduhan PKI,” papar Aktivis HAM itu.

Namun demikian, kata Usman, usulan itu kandas karena Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra menentang langkah Gus Dur itu. Selain itu, di era Megawati Soekarnoputri muncul sebuah Undang-undang yang melarang orang-orang yang dianggap terlibat PKI dilarang mengikuti Pemilu. Namun, akhirnya Undang-undang itu dianulir MK karena dianggap menyimpang dari UUD 1945.

“Ini sebenarnya perkembangan politik yang sangat baik menurut saya, mempersamakan derajat warga negara. Jadi, meski mantan PKI dibolehkan untuk ikut pileg sebagai warga negara,” sebut Usman.

Lebih lanjut Usman juga menyinggung sejumlah pernyataan Presidium KAMI bahwa salah satu indikasi adanya kebangkitan komunis ialah adanya oligarki. Menurut Usman padangan tersebut keliru, sebab oligarki sejatinya adalah musuh kaum komunis.

“Itu kan sangat keliru,” pungkas Usman.


https://ift.tt/2S93cLb
from Halo Dunia https://ift.tt/3ieRd9F
via IFTTT

No comments

Powered by Blogger.